JPPI: Putusan MK soal SD Swasta Tak Pungut Biaya Akhiri Diskriminasi Pendidikan

Putusan MK soal SD Swasta

Putusan MK soal SD Swasta – Dalam sistem pendidikan Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, selama ini masih banyak luka yang menganga. Salah satu luka itu adalah diskriminasi sistemik terhadap anak-anak dari keluarga tidak mampu, yang semakin diperparah oleh eksklusivitas lembaga pendidikan swasta. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengguncang status quo dengan putusan berani: Sekolah Dasar swasta yang menerima bantuan dari pemerintah tidak boleh memungut biaya pendidikan.

Bukan main-main. Ini bukan sekadar keputusan administratif. Ini tamparan keras terhadap sistem pendidikan yang selama ini tunduk pada logika pasar dan mengabaikan tanggung jawab negara. Putusan ini membawa angin segar yang mengubah paradigma pendidikan swasta, terutama di tingkat dasar slot depo 10k. Dan bagi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), ini adalah akhir dari diskriminasi yang selama ini dibiarkan merajalela.

Selama Ini, Pendidikan Swasta Jadi Lahan Eksklusif

Sekolah swasta selama ini berdiri di atas dua kutub ekstrem. Di satu sisi, mereka menyandang status “penyelenggara pendidikan alternatif” dengan dalih kualitas dan inovasi. Di sisi lain, mereka sering menjelma menjadi institusi yang hanya bisa diakses oleh segelintir kalangan ekonomi atas. Ironisnya, banyak sekolah swasta ini menerima dana dari negara—melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar (PIP), atau insentif lainnya—namun tetap mengenakan biaya tinggi pada peserta didik.

Padahal, amanat konstitusi sangat jelas: pendidikan dasar adalah hak setiap warga negara, dan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya tanpa diskriminasi. Maka, ketika MK menyatakan bahwa sekolah swasta yang menerima bantuan dari pemerintah tidak boleh memungut biaya, sesungguhnya ini adalah bentuk koreksi terhadap praktik menyimpang yang selama ini dibiarkan. JPPI menyambut baik putusan ini, dan menyebutnya sebagai titik akhir dari “diskriminasi berbasis ekonomi dalam akses pendidikan dasar”. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan, banyak anak dari keluarga kurang mampu terpaksa tidak bersekolah karena sekolah negeri penuh dan mereka tidak mampu membayar biaya di sekolah swasta.

Sekolah Negeri Tidak Cukup, Sekolah Swasta Tidak Ramah Rakyat

Salah satu realitas pahit dalam sistem pendidikan kita adalah keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, setiap tahun orang tua dibuat stres karena tidak mendapat tempat di sekolah negeri bonus new member 100. Dan ketika satu-satunya pilihan adalah sekolah swasta, mereka terhempas oleh realitas: biaya masuk bisa mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah. Pertanyaannya, jika sekolah swasta tersebut menerima dana dari pemerintah, untuk apa lagi mereka membebani masyarakat?

Inilah pertanyaan fundamental yang akhirnya dijawab MK. Jika sekolah swasta mau tetap memungut biaya, maka mereka tidak boleh menerima dana dari pemerintah. Sederhana. Transparan. Tegas. Putusan ini membuka jalan menuju sistem yang lebih adil: anak-anak dari semua latar belakang ekonomi harus bisa mengakses pendidikan dasar berkualitas tanpa dipersulit oleh tembok bernama “biaya masuk”. Negara wajib memastikan hal ini terjadi, dan tidak bisa lagi bersembunyi di balik dalih “itu kan sekolah swasta”.

Sekolah Swasta Harus Memilih: Bisnis atau Pelayanan Publik

Dengan putusan ini, sekolah swasta di hadapkan pada pilihan yang jelas. Jika mereka ingin tetap menjalankan model bisnis dan memungut biaya, silakan—tapi tanpa menerima uang dari negara. Namun jika mereka ingin tetap menerima bantuan dari APBN atau APBD, maka mereka harus tunduk pada prinsip pendidikan sebagai hak publik: gratis, inklusif, dan non-diskriminatif.

Sudah saatnya sekolah swasta berhenti bermain dua kaki—mengambil uang negara sambil tetap menjadikan diri eksklusif untuk segelintir. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial.

JPPI menegaskan, putusan MK adalah teguran keras bukan hanya kepada sekolah swasta slot bet, tapi juga kepada pemerintah daerah dan pusat yang selama ini lepas tangan. Pengawasan harus di perketat. Dana bantuan pendidikan harus di evaluasi. Dan transparansi pengelolaan sekolah swasta harus menjadi bagian dari sistem.

Masa Depan Pendidikan: Milik Semua, Bukan Segelintir

Dengan segala konsekuensi yang di timbulkan, putusan MK ini adalah langkah monumental dalam menata ulang ekosistem pendidikan dasar di Indonesia. Pendidikan bukan komoditas. Pendidikan adalah hak. Dan hak tidak boleh di batasi oleh kemampuan membayar.

Negara tidak boleh lagi mengandalkan slogan “mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan merata” jika praktik di lapangan justru membuktikan sebaliknya. Sudah waktunya semua pihak—pemerintah, sekolah swasta, dan masyarakat—bergerak menuju satu visi: pendidikan yang adil, terbuka, dan tanpa diskriminasi.

Baca juga: https://cpanel.absensi.kemenagkotabaru.info/

JPPI benar ketika menyatakan bahwa ini adalah akhir dari diskriminasi. Tapi ini juga adalah awal dari tanggung jawab baru. Pemerintah tidak bisa lagi abai. Sekolah swasta tidak bisa lagi bebas pungli berkedok “sumbangan sukarela”. Dan masyarakat tidak boleh lagi diam. Pendidikan dasar yang adil adalah fondasi bangsa yang sehat slot spaceman. Dan untuk itu, kita tidak bisa lagi membiarkan kepentingan ekonomi lebih di utamakan dari hak anak-anak kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *